Sejarah Perkembangan Pragmatik

Sejarah Perkembangan Pragmatik

Ketidakpuasan terhadap linguistik struktural

Ada pandangan yang menyatakan bahwa pragmatik dalam linguistik lahir dari ketidakpuasan para ahli bahasa terhadap kajian linguistik struktural. Kajian linguistik struktural adalah pendekatan yang menekankan pada analisis bahasa dari sudut pandang sintaksis dan morfologi.

Pendekatan ini mencoba untuk menguraikan bahasa menjadi komponen-komponennya yang paling dasar dan menjelaskan bagaimana komponen-komponen tersebut digabungkan untuk membentuk kalimat yang baik.

Namun, para ahli bahasa yang bekerja dalam pendekatan struktural menemukan bahwa pendekatan ini tidak dapat menjelaskan semua aspek dari bahasa, terutama aspek-aspek yang berhubungan dengan konteks dan makna.

Mereka merasa bahwa pendekatan struktural tidak dapat menjelaskan bagaimana bahasa digunakan dalam situasi komunikasi nyata, atau bagaimana makna ditentukan dalam konteks pemakaian.

Oleh karena itu, para ahli bahasa mulai mengembangkan pendekatan yang dikenal sebagai pragmatik, yang menekankan pada analisis bahasa dari sudut pandang konteks dan makna. Pragmatik mencoba untuk menjelaskan bagaimana bahasa digunakan dalam situasi komunikasi nyata dan bagaimana makna ditentukan dalam konteks pemakaian.

Munculnya pragmatik dalam linguistik didorong oleh keinginan untuk memahami bagaimana bahasa digunakan dalam konteks pemakaiannya. Adapun hal itu tidak dapat diterangkan oleh pendekatan linguistik struktural.

Actions (login required)

DI AWAL abad 20 Aceh memiliki beberapa ulama besar kharismatik, di antaranya Teungku Haji Muda Waly al-Khalidy, di Aceh Selatan Provinsi Aceh.

Nama Muda Waly sangat harum di dayah-dayah Aceh, kepribadiannya hampir tak ada cacat di dayah, bahkan ada semacam anggapan bahwa Muda Waly adalah ulama yang berpangkat Waliyullah.

Mengapa? Sebab Muda Waly adalah "Gure" (guru) para ulama yang mengasuh dayah yang ada sekarang di Aceh dan wilayah Sumatera.

Selain itu, Muda Waly juga merupakan Syaikh tarekat Naqsabandiyah di Aceh mana pengikut-pengikutnya tersebar di seluruh Nusantara. Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa

dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak”.

Secara yuridis, pelaksaan syariat Islam telah diatur di dalam Undang-Undang, apabila ketiga pondasi Islam itu teraplikasikan secara integral dalam pelaksanaanya, maka itu baru dinamakan pelaksanaan syariat secara kaffah.

Yang menjadi pertanyaan sudahkan pelaksanaan Syariat Islam itu dilakukan secarah kaffah, jawabannya belum, syariat Islam yang dilaksanakan hanya masih sebatas permasalaan syar’iyah menyangkup permasalahan fikih, ushul fikih maupun ushuluddin.

Sedangkan permasalahan dibidang akhlak terutama tasawuf atau kesufian belum diaplikasikan dalam praktek penerapannya.

Penggunaan ajaran tasawuf sebagai salah satu media proses penyebaran dan penyiaran agama Islam.

Tasawuf atau yang dikenal juga sebagai sufisme merupakan suatu ajaran tentang bagaimana menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, serta membangun dhahir dan batin untuk dapat memperoleh kebahagian abadi.

Sejarah, madzhab, dan inti ajarannya memiliki sejumlah versi berbeda dalam mengartikan apa itu sufi atau tasawuf.

Tasawuf kemudian memiliki arti yang satu yaitu upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan serta menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.

Masih dalam sumber yang sama, tasawuf sendiri dapat diartikan sebagai metode untuk mencapai kedekatan serta penyatuan antara hamba dan Tuhan serta mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki (ma’rifat) serta inti rasa agama.

Tasawuf islami mempunyai pengertian membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi.

Pengertian ini dapat dirangkum kembali dalam satu kata, yaitu taqwa pada kedudukan yang paling tinggi, baik lahir maupun batin.

7 menurut Zakaria al-Anshari, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan abadi.

Ahmad Zaruq berkata, Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata.

Imam Junaid berkata, Tasawuf adalah berakhlak luhur dan meninggalkan semua akhlak tercela.

Abu Hasan asy-Syazili berkata, Tasawuf adalah melatih jiwa untuk tekun beribadah dan mengembalikannya kepada hukum-hukum ketuhanan.

Ibnu Ujaidah berkata, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui untuk mencapai Allah, membersihkan batin dari semua akhlak tercela dan menghiasinya dengan beragam akhlak terpuji.

Awal dari tasawuf adalah ilmu, tengahnya adalah amal dan akhirnya adalah karunia.

Terdapat beberapa versi tentang munculnya ilmu tasawuf.

Ada yang percaya bahwa tasawuf telah ada sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi rasul.

Ada pula yang meyakini bahwa tasawuf muncul setelah kerasulan Nabi.

Tasawuf sendiri muncul sebelum Nabi Muhammad SAW menjadi rasul.

Sebagian pendapat kemudian mengatakan bahwa paham tasawuf sebagai paham yang telah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah

.Hal ini kemudian berasal dari orang-orang daerah Irak dan Iran yang baru masuk Islam (sekitar abad ke-8 M). Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan serta menjauhkan diri dari berbagai kemewahan dan kesenangan keduniaan.

Sebenarnya banyak versi yang menjelaskan definisi mengenai tasawuf (tasahawwuf).

Secara terminologis, tasawuf telah didefinisikan secara beragam, hingga timbul kesan bahwa satu definisi dengan definisi yang sain saling bertentangan.

Tasawuf islami mempunyai pengertian membersihkan diri (takhali) dari sesuatu yang hina, dan menghiasinya dengan sesuatu yang baik untuk mencapai tingkat yang lebih dekat dengan Allah atau sampai pada maqam yang tinggi.

Pengertian ini dapat dirangkum kembali dalam satu kata, yaitu taqwa pada kedudukan yang paling tinggi, baik lahir maupun batin.

Menurut Zakaria al-Anshari, tasawuf adalah ilmu yang dengannya diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan abadi.

Syeikh Ahmad bin Muhammad Ajibah Al-Hasani Asy-Syadzili menuklil perkatanan Imam Al-Ghazali dalam Iqodhul Himam “Adapun Hukum mempelajari ilmu tasawuf menurut hukum syara’ terhadap hal ini Al-Ghazali berkata;

Sesungguhnya tasawuf itu fardhu ain, karena setiap orang tidak terlepas dari cacat atau penyakit hati kecuali nabi-nabi alaihimu sholatu wassalam. Lebih Jauh Imam Abu Hasan As-Syadzili mengatakan

“Barang siapa yang tidak masuk tenggelam ke dalam ilmu kami ini, maka ia mati dalam keadaan berdosa besar tapi ia tidak mengetahui bahwa ia berdosa besar. (Al-Hasani, 2016, p. hlm 19)

Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari tokoh-tokoh sufi Aceh inilah kemudian tasawuf menyebar dan membentuk jaringan-jaringan ke seluruh Nusantara.

Sedangkan secara substansial, pemahaman tasawuf Aceh memengaruhi daerah-daerah lain, sehingga dibeberapa daerah lain ada kecendrungan isi dan corak pemikiran tasawufnya mirip dengan tasawuf Aceh, kendatipun sebetulnya sedikit banyak telah mengalami pergerseran-pergeseran atau mengalami modifikasi.

Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaannya seperti disinggung di atas, ternyata secara substansial, mazhab tasawuf Ibnu Arabi dan al-Jilli yang berwatak pantheisme telah mendominasi pemikiran

dan penghayatan keagamaan dalam istana dan kalangan masyarakat umum, terutama karena ajaran itu telah dianut dan disebarkan oleh dua pemuka tasawuf Aceh, yaitu Hamzah Fansuri dan Muridnya Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630 M).

Melalui dua orang sufi ini, terutama melalui penulisan kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu, ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian dikenal dengan Wujudiyah memperoleh kemajuan sangat pesat dianut secara luas oleh masyarakat umum dan kalangan istana.

Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa substansi pemikiran tasawuf yang nonIbnu Arabi dan al-Jilli tidak bisa berkembang, karena buktinya pada kurun waktu selanjutnya banyak muncul tokoh-tokoh sufi lainnya, seperti Nuruddin al-Raniry, Abd Rauf al-Singkili, dan sebagainya yang bergeser bahkan terkesan menolak pemikiran ala Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani.

Aceh merupakan daerah sentral dalam transformasi Islam di Indoensia. Sejak kota Malaka jatuh ke tangan Portugis, Kemunculan dan perkembangan tasawuf serta tarekat di Aceh tidak terlepas dari masuknya Islam dan perkembangannya yang dibawa oleh ulama-ulama Islam timur tengah yang ikut dalam kepal pedagang dari Arab, India dan Persia.

Dalam perkembangan selanjutnya, keenam daerah tersebut tersatukan menjadi daerah Aceh oleh Sultan Husein Syah yang memerintah Aceh Darussalam pada tahun 870-885 H/1465-1480.

Di masa inilah baru terbentuk kesatuan Aceh, yaitu satu agama, satu bangsa, dan satu Negara, dan kesatuan inilah Aceh menjadi kuat dan megah hingga mencapai zaman kegemilangannya.

Islam berkembang di Aceh dengan sangat cepat. Aceh menjadi salah satu kekuatan kerajaan Islam di Nusantara.

Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh.

Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwah Islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan.

Diantaranya juga adalah tasawuf dan tarekat yang juga ikut berkembang pesat mewarnai kehidupan keagamaan di Aceh.

Dalam pembicaraan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh memainkan peranan yang sangat penting, karena Aceh merupakan wilayah yang tidak bisa di pisahkan dalam setting sejarah Islam di Indonesia khususnya dan dengan Malaysia, Thailand, Brunei, dan Negara-negara di semenanjung melayu pada umumnya.

Pemikiran tasawuf di Aceh banyak terkait dengan pemikiran-pemikiran tasawuf di wilayah lain di nusantara, baik dari aspek sejarah maupun substansi pemikirannya.

Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari Tasawuf dan Tarekat di Aceh: Tokoh-Tokoh Dan Ajarannya diakses 24 Desember 2017.

Model pemikiran tasawuf di Aceh pada awalnya bercorak pemikiran tasawuf falsafati atau tasawuf wujudiyah yang berasal dari pemikiran Imam Al-Ghazali, Syekih Abdul Qadir Al-Jilani, Shaikh Muhiyidin Ibn Arabi, dan Syeikh Muhammad Bahahuddin Naqsyabandi.

Dari aspek sejarah banyak terbukti bahwa dari tokoh-tokoh sufi Aceh inilah kemudian tasawuf menyebar dan membentuk jaringan-jaringan ke seluruh Nusantara.

Sedangkan secara substansial, pemahaman tasawuf Aceh memengaruhi daerah-daerah lain, sehingga dibeberapa daerah lain ada kecendrungan isi dan corak pemikiran tasawufnya mirip dengan tasawuf Aceh, kendatipun sebetulnya sedikit banyak telah mengalami pergerseran-pergeseran atau mengalami modifikasi.

Ketika Aceh sedang mengalami puncak kejayaannya seperti disinggung di atas, ternyata secara substansial, mazhab tasawuf Ibnu Arabi dan al-Jilli yang berwatak pantheisme telah mendominasi pemikiran dan penghayatan keagamaan dalam istana dan kalangan masyarakat umum,

terutama karena ajaran itu telah dianut dan disebarkan oleh dua pemuka tasawuf Aceh, yaitu Hamzah Fansuri dan Muridnya Syamsuddin Sumatrani (wafat 1630 M).

Melalui dua orang sufi ini, terutama melalui penulisan kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Melayu, ajaran tasawuf Ibnu Arabi yang kemudian dikenal dengan Wujudiyah memperoleh kemajuan sangat pesat dianut secara luas oleh masyarakat umum dan kalangan istana.

Kendatipun demikian, tidak berarti bahwa substansi pemikiran tasawuf yang nonIbnu Arabi dan al-Jilli tidak bisa berkembang, karena buktinya pada kurun waktu selanjutnya banyak muncul tokoh-tokoh sufi lainnya,

seperti Nuruddin al-Raniry, Abd Rauf al-Singkili, dan sebagainya yang bergeser bahkan terkesan menolak pemikiran ala Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani.

Awal perkembangan Islam di Aceh bercorak tasawuf yang mengalami perkembangan pesat dizaman Iskandar Muda dan mengalami keruntuhan dimasa penjajahan Belanda.

Tasawuf merupakan bagian dari pondasi Islam yang menyangkut tentang akhlak yaitu penyucian hati dari kotoran materi dam sifat wujud diri kita (ananiyah) dalam Ibadah.

Seseorang untuk melakukan pemahaman dan pengamalan terhadap agama Islam. Sehingga tidak semua orang Islam dapat memperoleh pengakuan bahwa ianya adalah seorang yang tasawuf atau sufi.

Untuk memperoleh gelar sufi seseorang harus tekun dan sabar, sehingga seorang sufi digelar sebagai insan kamil yaitu manusia sempurna secara ketauhidan, ilmu pengetahuan dan akidahnya.

Tasawuf merupakan bagian dari pondasi Islam yang menyangkut tentang akhlak yaitu penyucian hati dari kotoran materi dam sifat wujud diri kita (ananiyah) dalam Ibadah.

Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan memfokuskan hati hanya untuk Allah semata.

Pusat pengamalan tasawuf meliputi syariat, (syari’ah) tarekat (thariqoh) dan hakekat (haqqiqah). Syariat menyangkut amalan lahir, tarekat menyangkut amalan hati yang sekaligus merupakan pengantar menuju hakekat, dan hakekat menyangkut pengamalan ruh merupakan kemampuan menyaksikan (musyahadah) Allah swt dengan mata hatinya.

Pentingnya peran tasawuf dalam sejarah, budaya, dan kehidupan keagamaan masyarakat aceh, serta memberikan gambaran tentang bagaimana nilai-nilai tasawuf tetap relevan dalam konteks modern. (*)

*) PENULIS adalah Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang dan Alumni Dayah Al-athiyah Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

ASAL USUL DAN SEJARAH KRISTEN

Degaf, Agwin (2017) Sejarah Pragmatik (The History of Pragmatics). Disampaikan pada mata kuliah Pragmatics, Bahasa dan Sastra Inggris / Fakultas Humaniora, 31 Januari 2017. (Unpublished)

Pragmatik merupakan bagian dari ilmu tanda (semiotik). Dikemukakan oleh seorang filsuf bernama Charles Morris. Menurutnya, dalam kaitannya dengan ilmu bahasa, semiotik memiliki cabang: yakni sintaktika ‘studi relasi formal tanda-tanda’ dan semantika ‘studi relasi tanda dengan penafsirnya'. Akan tetapi, pragmatik yang berkembang saat ini, yang mengubah orientasi linguistik di Amerika pada tahun 1970-an, sebenarnya diilhami oleh karya-karya filsuf seperti Austin (1962) dan Searle (1969) yang termashur dengan teori tindak tuturnya (Leech, 1983: 2).

Downloads per month over past year

Ahli bahasa dalam sejarah pragmatik

Ahli bahasa yang pertama-tama memunculkan pragmatik dalam kajian bahasa adalah Charles Sanders Peirce dan John Dewey. Peirce, seorang filsuf Amerika, dikenal sebagai salah satu pendiri pragmatisme filosofis. Ia menyatakan bahwa makna sebuah kalimat ditentukan oleh implikatur yang dihasilkannya ketika digunakan dalam situasi komunikasi tertentu. Dewey, seorang filsuf Amerika juga, mengembangkan konsep pragmatisme dalam bidang pemikiran yang berbeda. Namun juga menekankan pada pentingnya konteks dalam menentukan makna.

Selain Peirce dan Dewey, beberapa ahli bahasa yang memainkan peran penting dalam perkembangan pragmatik dalam linguistik adalah J.L. Austin dan H.P. Grice.

Austin mengembangkan teori tindak tutur (speech act theory), yang menekankan pada bagaimana kalimat digunakan untuk bertindak seperti membuat perintah atau membuat janji.

Grice mengembangkan Relevance Theory, yang menekankan pada bagaimana makna ditentukan oleh implikatur yang dihasilkan oleh konteks komunikasi.

John Searle juga memiliki peran penting dalam perkembangan pragmatik dalam linguistik. Ia dikenal sebagai salah satu pengembang teori tindak tutur, yang dicetuskan oleh J.L. Austin.

Searle menyempurnakan teori ini dengan menambahkan konsep-konsep seperti tuturan performatif (performative utterances) dan tindak ilokusi. Tuturan performatif adalah kalimat yang digunakan untuk melakukan tindakan komunikatif, seperti membuat perintah atau membuat janji. Tindak ilokusi adalah tindakan komunikatif yang diharapkan dari sebuah kalimat.

Selain itu, Searle juga mengembangkan konsep implikatur konvensional. Implikatur konvensional adalah implikatur yang dihasilkan oleh konvensi sosial dalam bahasa.

Secara keseluruhan, teori yang dikembangkan oleh John Searle sangat penting dalam perkembangan pragmatik dalam linguistik. Teori tersebut juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman tentang bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi nyata dan bagaimana makna ditentukan dalam konteks pemakaian.

Pemikiran Searle tersebut dapat ditemukan di dalam buku Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language yang diterbitkan pada tahun 1969. Dalam buku tersebut, ia menggunakan pendekatan filosofis untuk menjelaskan bagaimana bahasa digunakan dalam situasi komunikasi nyata dan bagaimana makna ditentukan dalam konteks pemakaian. Buku ini menjadi sangat penting dalam perkembangan pragmatik dalam linguistik dan menjadi salah satu referensi penting dalam bidang ini.

Penulis: ChatGPT & Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik

��ࡱ� > �� x { ���� y z �������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������� �� �( � � � � �� / � 0 � �� �D A r i a l n g s �� �� �&� � � �0 � z[ 0 � " �D T i m e s N e w R o m a n � � �0 � z[ 0 � �D W i n g d i n g s R o m a n � � �0 � z[ 0 � � � @ �� � . � @ �n ��? " d � d @ ��� ������ @@ `` �� �� �� 8 2 � �0 � � �A � � �A � ` � � � � �� f � � 3�3 @ � � �8 � � � � �3 ���� ʚ;��� ʚ; �g � �4 C d C d � z[ 0 �������� p � p p � @ <

Sejarah Perkembangan Pragmatik

1.      Sejarah Perkembangan Pragmatik Di Indonesia

Di Indonesia istilah pragmatik secara nyata baru disebut-sebut pada tahun 1984, yaitu pada saat diberlakukannya Kurikulum SMA Tahun 1984. Di dalam kurikulum itu pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi Bahasa Indonesia. Atas dasar tuntutan kurikulum itulah, istilah itu mulai dibicarakan dan dibahas.

Buku acuan yang merupakan perintis bidang pragmatik di Indonesia pada awalnya adalah karya Tarigan (1986) berjudul Pengajaran Pragmatik. Buku ini masih sangat umum, deskripsi tentang topik-topiknya sangat terbatas dan sekadar mengatasi kelangkaan bahan ajar bidang itu. Nababan (1987) mencoba pula menerbitkan buku Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), yang juga masih banyak mengandung kekurangan. Sementara itu, Tallei (1988) mencoba mendeskripsikannya agak mendalam. Topik-topik bahasannya antara lain tindak tutur (speech act), implikatur, dan praanggapan (presupposition). Sayang sekali karya Tallei ini tidak mencakup semua topik pragmatik dan bahasannya hanya merupakan bagian dari karya yang berjudul Analisis Wacana.

Tahun 1990, Purwo menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Buku ini merupakan gugatan atas perlakuan terhadap pragmatik di Indonesia dengan mencoba meluruskan pengertiannya. Baginya cabang linguistik ini dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, dan (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Buku Purwo ini hanya membahas empat hal saja, yaitu dieksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan. Keluasan cakupan bahasan inilah yang menjadi kelemahan buku tersebut.

Di tahun 1990 juga, Suyono menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik: Dasar-Dasar dan Pengajarannya. Sayangnya, buku ini tidak membahas secara mendalam seluruh topik yang disajikan. Bahasan Lubis (1993) dalam karyanya Analisis Wacana Pragmatik agak mendalam. Meski demikian, karya ini hanya membahas dari aspek analisis wacana. Aspek-aspek lain belum disentuhnya. Hal serupa juga terjadi dalam karya Ibrahim (1993) yang berjudul Kajian Tindak Tutur, yang hanya mengupas satu topik saja, yaitu tindak tutur.

Pada tahun 1996 terbit buku Dasar-Dasar Pragmatik karya Wijana. Buku ini sebenarnya menuju ke arah pragmatik yang sebenarnya. Topik-topik bahasannya cukup banyak, dari situasi tutur, tindak tutur, jenis tindak tutur, presupposisi, implikatur, emtailment, kalimat analitis -kontradiktif- sintetis, prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, sampai dengan parameter pragmatik. Hanya saja deskripsi di dalam karya ini masih sangat terbatas, berkecil-kecil, dan bersifat anomalitis.

Penelitian tentang pragmatik di dalam rangka disertasi telah dilakukan oleh Purwo (1984). Pokok persoalan penelitian itu adalah diesksis. Penelitian ini merupakan perintis penelitian tentang pragmatik di Universitas Indonesia. Rintisan penelitian bidang pragmatik dilakukan pula oleh Rofiudin (1994) dari IKIP Malang, dengan topik bahasan tentang sistem pertanyaan dalam bahasa Indonesia.

Penelitian lain yang berkaitan dengan pragmatik dilakukan oleh Gunarwan, peneliti Universitas Indonesia. Tahun 1992, ia meneliti persepsi kesantunan direktif di dalam bahasa Indonesia di antara beberapa kelompok etnik di Jakarta. Direktif dan sopan santun bahasa di dalam bahasa Indonesia merupakan topik penelitian pragmatik Gunarwan (1995) berikutnya. Temuannya ialah bahwa ada kesejajaran antara ketidaklangsungan tindak tutur direktif dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja kesejajaran itu tidak selamanya berlaku.

Penelitian pragmatik dalam bahasa Indonesia dengan latar budaya Jawa telah dilakukan Gunarwan (1993 dan 1997). Penyelidikan Gunarwan (1993) berpokok bahasanan kesantunan negatif di kalangan dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta dengan menerapkan kajian sosiopragmatik. Pada tahun 1997 ia juga menghasilkan karya penelitian di bidang ini, berupa karya tentang tindak tutur melarang di dalam bahasa Indonesia di kalangan penutur jati bahasa Jawa. Makalahnya telah disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Surabaya tanggal 7-11 November 1997.

Dalam bahasa Jawa telah pula dilakukan penelitian tentang cabang linguistik ini, yaitu oleh Ngadiman (1994) dan Gunarwan (1996). Ngadiman (1994) meneliti implikatur percakapan di dalam bahasa Jawa di Yogyakarta. Penelitian ini memperoleh temuan bahwa bahasa Jawa kaya akan implikatur percakapan. Bentuk-bentuk figuratif di dalam bahasa Jawa seperti sanepa, wangsalan, dan bebasan merupakan realisasi implikatur percakapan bahasa Jawa di Yogyakarta.

Sementara itu, Gunarwan (1996) telah melakukan penyelidikan tentang tindak tutur mengkritik dengan parameter umur di kalangan [enutur jati bahasa Jawa dan implikasinya pada usaha pembinaan bahasa. Hasil penelitian ini disajikan dalam Kongres Bahasa Jawa di Batu, Malang. Ia menarik simpulan bahwa bentuk kritik di kalangan orang Jawa sejalan dengan gradasi umur. Realisasi tindak tutur mengkritik di antara penutur bahasa Jawa tidak berbeda karena faktor jenis kelamin. Simpulan penting lainnya adalah bahwa orang muda Jawa lebih langsung dalam mengemukakan kritik daripada orang tua.

Berdasarkan deskripsi itu dapat dinyatakan bahwa kajian bidang pragmatik di Indonesia masih sangat terbatas. Implikatur percakapan sebagai fenomena terpenting di dalam bidang ini baru diteliti beberapa orang. Penelitian yang dilakukan itu pun belum memadai sebagai karya pragmatik yang mendalam. Karya Soedjatmiko (1992) tentang aspek linguistik dan sosiokultural di dalam humor dan Wijana (1996) tentang wacana kartun di dalam bahasa Indonesia bukanlah tentang implikatur percakapan.

2.      Sekilas Perbedaan Pragmatik, Sintaksis, Semantik, dan Sosiolinguistik

Perbedaan pragmatik, sintaksis, semantik, dan sosiolinguistik dapat dijelaskan secara ringkas seperti berikut.

Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.

Sejarah Singkat Pragmatik

Latar belakang munculnya pragmatik dalam linguistik dapat dilihat dari berbagai aspek, mulai dari pemikiran filosofis hingga perkembangan dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Beginilah sejarah pragmatik dalam linguistik.

Baca juga: Pragmatik dalam Linguistik: Pengertian, Tujuan, Hasil, dan Manfaat

Pertama, pemikiran filosofis yang mendasar tentang komunikasi dan pemahaman memainkan peran penting dalam munculnya pragmatik dalam linguistik. Sejak zaman Yunani kuno, filsuf-filsuf seperti Socrates dan Plato telah mempertanyakan bagaimana kita dapat saling berkomunikasi dan memahami satu sama lain.

Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi sebuah bidang ilmu yang dikenal sebagai filsafat linguistik, yang mencoba menjelaskan bagaimana bahasa digunakan untuk menyampaikan makna dan bagaimana makna diterima oleh penerima.

Selanjutnya, perkembangan dalam bidang filsafat linguistik menyebabkan munculnya pragmatik dalam linguistik. Pada awal abad ke-20, filsuf-filsuf seperti Gottlob Frege dan Bertrand Russell berusaha menjelaskan bagaimana bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi.

Namun, mereka menemukan bahwa bahasa tidak selalu digunakan untuk menyampaikan informasi secara langsung, melainkan juga digunakan untuk menyampaikan makna kontekstual. Inilah yang menyebabkan munculnya bidang baru dalam filsafat linguistik yang dikenal sebagai pragmatik.

Perkembangan dalam bidang ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi juga memainkan peran penting dalam munculnya pragmatik dalam linguistik. Ilmu-ilmu sosial ini memberikan pemahaman baru tentang bagaimana bahasa digunakan dalam interaksi sosial dan bagaimana bahasa diterima dalam konteks pemakaian.

Selain itu, perkembangan dalam bidang komunikasi, terutama dalam perkembangan teknologi komunikasi yang membuat kita menyadari pentingnya pemahaman pragmatik dalam komunikasi. Seiring dengan perkembangan teknologi, komunikasi semakin cepat dan global. Ini membuat kita menyadari bahwa pemahaman pragmatik sangat penting dalam berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dan dalam berbagai situasi komunikasi.

Jadi, munculnya pragmatik dalam linguistik didorong oleh keinginan untuk memahami bagaimana bahasa digunakan dalam konteks pemakaiannya dan bagaimana makna ditentukan dalam konteks tersebut.

Selain itu, hal-hal berikut juga memainkan peran dalam munculnya pragmatik dalam linguistik.

Pragmatik menawarkan cara baru untuk memahami bahasa dan komunikasi yang lebih komprehensif dan kontekstual.